“Ya, Tuhan!” Itu kata yang sudah lama tidak pernah meluncur dari mulut. Dan baru kali ini secara spontan meluncur lagi.
“Ibunya di mana?”
“Tidak tahu. Menurut kabar dia pergi dengan lelaki lain. Tapi tampaknya Noly lebih mencintai ayahnya dibanding ibunya.”
Saya menghela nafas. Dada ini tiba-tiba terasa sesak. Teka-teki itu sudah terjawab. Mengapa Noly menggambar pohon cemara Natal yang sedang menangis.
“Bolehkah dia saya ajak bezuk ayahnya?” tanya saya kemudian dengan nada bergetar.
“Kalau Om Sam mau menanggung semua biayanya, kami izinkan.”
“Terima kasih Suster! Jangan khawatir soal itu.”
“Sebuah kado Natal yang luar biasa buat Noly. Dia pasti senang sekali. Kapan mau diajak ke sana?”
“Menjelang Natal.”
Suster Maria mengangguk. Dia mengulurkan tangannya. Tangan itu kugenggam erat. Saya bayangkan bagaimana gembiranya Noly nanti saat bertemu ayahnya! ***
Agnes Yani Sardjono atau dikenal pula dengan nama Budi Sardjono adalah sastrawan yang lahir di Yogyakarta, 6 September 1953. Menulis karya-karya fiksi (cerpen, novelet, novel, naskah sandiwara, dan lainnya) sejak tahun 1970-an. Beberapa kali memenangkan sayembara mengarang, cerpen dan novelet di majalah Femina, Kartini, Sarinah, dan lainnya.
Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Cerpen yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain baik cetak, online atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi terlebih dahulu. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada kabar, dipersilakan dikirim ke media lain. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.