Pohon Cemara yang Menangis

CERPEN AGNES YANI SARDJONO

Saat itu dia jalan kaki di malam hari di tengah musim dingin. Martin melihat pohon cemara tetap tegak lurus meski salju menempel di mana-mana. Ia juga melihat bintang-bintang bertaburan di langit.

Muncul ide untuk membuat pohon Natal. Ia tebang batang cemara. Sebagai ganti salju ia tempelkan kapas putih di ranting-rantingnya. Sebagai ganti bintang-bintang di langit ia pasang lampu warna-warni.

Jadilah pohon Natal yang pertama. Lalu diikuti keluarga-keluarga lain di Jerman. Kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia!

Mau apalagi? Tidak mungkin saya seorang diri tanpa otoritas apa pun mau mengganti pohon Natal seenak udel sendiri, he..he..he..
* * *
“BAGAIMANA Om, bagus gak gambar Noly?”

Saya kaget melihat gambar anak itu saat berkunjung ke panti asuhan mengantar beras dan kacang ijo. Gambar pohon cemara Natal. Tapi ranting-rantingnya tidak ditempeli salju putih, justru diganduli puluhan gambar butiran air mata. Menggelembung di atas, lalu menetes di bawah.

“Kok pohonnya menangis?” tanyaku sambil tetap mengamat-amati kertas bergambar di tangan.

“Iya Om,” sahut Noly.

“Di hari Natal pohonnya tidak penuh bintang, tapi sepertinya malah penuh butiran air mata. Benar?”

Anak itu mengangguk lalu menyembunyikan wajahnya.

“Kenapa pohonnya menangis?” tanyaku mengejar.

“Tidak apa-apa, Om,” jawab Noly lirih. “Tapi bagus gak gambar itu, Om?”

“Bagus sekali!”

“Sungguh?”

“Ya. Cuma kenapa pohon kok menangis. Itu yang jadi teka-teki Om. Bisa Noly jelaskan?”

Anak itu mencoba tersenyum. Begitu kertas bergambar itu saya berikan kembali, langsung diterima dan berlari masuk aula.

Aneh! Baru kali ini saya melihat ada anak menggambar pohon cemara Natal tapi lagi menangis. Imajinasinya dari mana? Apakah itu jeritan dari hati kanak-kanaknya yang masih polos? Kalau ya, itu luar biasa!

Lihat juga...