Pohon Cemara yang Menangis

CERPEN AGNES YANI SARDJONO

“OOOMMM.. . Om Sam!”

Aku menoleh. Tampak Noly melambai-lambaikan tangan memberi isyarat agar aku berhenti. Cukup pintar untuk anak seusia dia. Sudah tahu bahasa tubuh.

Paling tidak bisa menggunakan tangannya untuk menyampaikan tanda. Aku memang lalu berhenti di bawah pohon pinus. Menghindari sengatan matahari.

Noly lalu berlari-lari menuju ke arahku. Sudah tiga tahun aku mengenalnya. Sejak dia masih duduk di bangku TK Nol Besar. Sekarang sudah kelas 2 SD.

Salah satu penghuni panti asuhan yang dikelola para biarawati dari tarekat Carolus Boromeus. Anaknya periang. Ingin rasanya aku mengadopsinya. Namun pasti tidak diizinkan. Karena aku hidup sendiri. Nanti Noly tidak bisa menemukan sosok ibu kalau ikut aku.

“Ada apa Noly?” tanyaku waktu anak itu sudah dekat.

Ia tidak segera menjawab. Bola matanya yang bundar dan bersih seperti berputar-putar. Pertanda ingin mengatakan sesuatu namun takut.

Aku tersenyum, lalu kuraih pundaknya. “Mau bilang apa sama Om?”

“Om Sam tidak marah?” tanya Noly dengan suara lirih.

“Kenapa marah? Bukankah Noly tidak pernah berbuat salah?”

Anak itu tersenyum. Suasana mulai cair. Sorot matanya sekarang mulai fokus. Berani menatapku. “Noly mau minta sesuatu, Om. Boleh?”

Kembali aku tersenyum. Peraturan panti asuhan memang melarang penghuninya minta langsung kepada donatur atau simpatisan. Begitu pun para donatur tidak boleh memberi sesuatu langsung kepada anak panti.

Karena bisa menimbulkan rasa iri anak yang lain. Semua pemberian atau bantuan harus lewat pengurus. Nanti mereka yang akan membagikan secara merata kepada semua anak penghuni panti.

“Noly mau minta apa?” tanyaku.

Lihat juga...