Pohon Cemara yang Menangis

CERPEN AGNES YANI SARDJONO

“Ya, ya. Terima kasih Om Sam! Anak-anak pasti senang mendapat kado istimewa dari Om kesayangan mereka.”

“Untuk merayakan Natal nanti ada kado khusus buat anak-anak.”

“Oh, ya? Kok repot-repot.”

“Siapa yang repot, Suster?” saya tertawa. “Yang repot itu Dia yang ada di surga. Karena harus bagi-bagi rejeki secara merata. Kalau ada yang tidak kebagian bisa ngomel-ngomel nanti, ha..ha..ha..”
“Ah, ada-ada saja Om Sam ini!”
* * *
SEBENARNYA saya kurang sreg menggunakan pohon cemara sebagai simbol keabadian. Bagi negara-negara yang memiliki siklus empat musim mungkin cocok penggunaan pohon itu sebagai lambang keabadian.

Karena hanya pohon cemara dan familinya yang berjumlah sekitar 70 yang masih bertahan hidup di musim dingin. Pohon-pohon lain meranggas tinggal batang dan rantingnya.

Mereka baru tampak hidup lagi setelah musim dingin lewat berganti musim semi. Tapi di negeri tropis seperti Indonesia ini hampir semua pohon bisa hidup baik di musim kemarau maupun musim hujan.

Memang ada yang daun-daunnya rontok. Itu ketahuan kalau pohon impor, tidak asli Nusantara. Pohon itu mengikuti siklus musim dari negeri asalnya.

Pernah saya mengusulkan penggunaan pohon rambutan atau pohon pisang untuk hiasan pohon Natal. Bukan pohon cemara. Karena pada bulan Desember di negeri ini sedang musim rambutan. Di mana-mana terjadi panen raya.

Jadi cocok untuk melambangkan kegembiraan Natal. Sedang penggunaan pohon pisang karena pohon itu juga berbuah sepanjang tahun. Tidak kenal musim. Jadi cocok untuk lambang harapan akan kesejahteraan semua makhluk hidup.

Usul tinggal usul. Saya seperti melawan arus besar. Hasilnya saya dianggap orang sinting, tidak nalar, dan mengada-ada. Jadi mereka, umat Kristiani, lebih bangga melanggengkan impian Martin Luther pada tahun 1510.

Lihat juga...