“Tapi Om janji jangan bilang sama Suster Maria, ya? Nanti Noly bisa dimarahi.”
“Oke, tenang saja. Suster Maria baik sekali kok sama Om Sam. Katakan, Noly mau minta apa?”
“Pensil warna. Boleh?”
“Boleh sekali. Untuk bikin gambar apa?”
“Pohon cemara. Pohon cemara Natal.”
“Ouh, bagus. Baik, baik. Minggu depan Om ke sini lagi. Akan saya bawakan beberapa kotak pensil warna. Siapa tahu teman-temanmu juga kepingin. Nanti saya yang akan bicara langsung kepada Suster Maria.”
“Terima kasih Om.” Noly segera menyahut tangan kananku, lalu ia ciumi punggung tanganku.
Ah! Saya paling tidak kuat menahan haru dengan peristiwa itu. Bagi orang lain hal itu sudah dianggap lazim. Bagi saya tidak. Ini peristiwa yang luar biasa. Dulu waktu kecil saya tidak pernah melakukan jika diberi sesuatu oleh orang lain.
Bahkan ketika kakek atau nenek memberi uang pun saya hanya mengangguk dan mengucap: matur nuwun. Tidak pernah mencium punggung tangannya.
Begitu Noly berlari kembali ke teras asrama panti asuhan, saya segera menuju tempat parkir. Rencana dolan ke rumah teman saya urungkan. Saya harus mengingat-ingat saldo tabungan.
Cukup tidak untuk membeli 25 kotak pensil warna? Lupa-lupa ingat saldo masih cukup. Karena itu dari panti asuhan saya langsung ke toko buku dan alat-alat tulis. Hari itu juga saya beli 25 kotak pensil warna.
Dua hari kemudian barang itu saya kirim ke panti asuhan lewat jasa pengiriman.
“Tolong untuk Noly diberikan lebih dulu ya Suster,” kata saya lewat telepon kepada Suster Maria.
“Memangnya kenapa?” tanya pengasuh panti asuhan itu.
“Dia ingin segera menggambar pohon cemara. Mungkin karena situasinya mendekati Natal. Jadi siapa tahu dia ingin menggambar pohon cemara Natal.”