Pohon Cemara yang Menangis

CERPEN AGNES YANI SARDJONO

Di aula panti asuhan Noly tidak tampak. Ada kira-kira sepuluh anak yang lagi menggambar. Mereka cuek saja ketika saya melihat-lihat gambarnya. Rata-rata memang lagi menggambar pohon cemara Natal. Namun gambar mereka penuh warna-warna ceria, terutama saat mereka menggambar hiasan bintang-bintang.

Penuh warna-warni. Di bawah pohon cemara Natal itu mereka menggambar aneka macam kotak kado. Ini gambar-gambar yang standar. Mungkin mereka sering melihat di kartu-kartu ucapan Natal atau iklan-iklan di televisi. Hanya kepunyaan Noly yang bagi saya terkesan aneh. Kalau meminjam bahasa orang dewasa, gambar Noly bisa disebut misterius!

“Ada apa kok tampak serius?” tanya Suster Maria saat saya berdiri di pintu ruang kerjanya.

“Suster sudah melihat gambar pohon cemara Natal kepunyaan Noly?” tanyaku.

Biarawati itu menggeleng sambil menawari saya duduk. “Memangnya kenapa gambar Noly?”

“Gambarnya aneh. Mungkin malah misterius,” jawab saya. “Masak dia menggambar pohon cemara Natal lagi menangis. Ranting-rantingnya tidak diberi hiasan salju, namun malah diberi butiran-butiran air mata. Aneh bukan?”

Suster Maria tersenyum. Ia berdiri lalu membuka almari. Setelah itu ia menyodorkan padaku selembar kertas bergambar. Saya amati sesaat. Gambar pohon cemara Natal tapi di sampingnya ada gambar jeruji besi.

“Itu gambar Noly tahun lalu,” Suster Maria memberi penjelasan.

“Suster tahu maksudnya?” Saya benar-benar penasaran.

“Dia rindu ayahnya.”

“Ouh. Hal yang biasa, bukan?”

“Tidak biasa untuk anak seusia Noly. Dia tahu ayahnya ada di penjara.”

“Ouh, ya? Terlibat kasus apa?”

“Menurut catatan yang kami terima, ayahnya terlibat pembunuhan. Memang itu karena dia mempertahankan diri dari serangan musuh. Tapi dua orang yang terbunuh. Lalu dia kena vonis hukuman 15 tahun kurungan.”

Lihat juga...