Wajah itu tetap menunduk. Rambutnya yang panjang dan kumisnya menghias bibirnya yang selalu terkatup. Jarang saya lihat tersenyum. Sepertinya wajah muram. Apa pujangga harus berwajah muram? Apa filosof harus berwajah angker?
“Wajahmu ganteng. Kenapa kau tak bisa flamboyan seperti William Shakespiere? Atau seperti Chairil Anwar yang begitu ekspresif mengatakan cinta? Atau seperti Rendra yang beristri beberapa?”
Aku jadi ingat sajak Rendra yang ditujukan pada calon istrinya Sunarti, Jl Sagan No 9 Yogya. Puitis dan berkesan. Waktu berlalu. Hening dan hanya tiupan angin dingin.
“Sekarang aku ingin menggugatmu. Entah ada artinya atau tidak. Aku sebut namamu, Kahlil Gibran berulangkali karena kau pernah menyebut namaku sering kali. Dalam karyamu, Sang Nabi. Kau tahu siapa namaku? Namaku Ali Mustofa. Asli Indonesia.”
Puncak Gunung Mar Elias dan Gunung el Mekmel di bentangan Pegunungan Lebanon, putih berkilauan tertutup salju. Lerengnya masih berwarna hijau pepohonan cedar dan coklat dinding batu alam.
Pohon cedar yang kokoh tetap mempesona. Makanya ada di bendera Lebanon. Juga Gibran. Masih mempesona. Meski aku sekarang menggugatnya. ***
Sunaryo Broto, sastrawan yang bekerja di Pupuk Kaltim, Bontang. Penerima nominasi pegiat literasi Kaltim dan Kaltara dari Kantor Balai Bahasa Kaltim.
Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Karya yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain, baik cetak, online, atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada konfirmasi, dipersilakan dikirim ke media lain. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.