Entah berapa lama aku telah terkurung di tempat ini. Aku tak bisa mengingatnya sama sekali. Entah berapa lama lagi aku harus berada di sini.
Tapi aku sudah muak dengan semua kekacauan yang ada di sini. Setiap hari ketika malam merangkak keluar dari sarangnya, aku selalu menemukan mereka berbalik menatapku dari balik jendela.
Lebih dari ratusan kali rasanya aku ingin menghujani mereka dengan sumpah serapah. Namun apa daya, walaupun pikiranku bisa menyampaikan angkara murka ini, raga ini tak mampu menjangkau mereka.
Malam yang menatapku dari jendela hanya tertawa melihatku tergeletak menggelepar di atas kasur. Setiap kali aku menarik napas dalam-dalam dengan membuka mulut dan seluruh pori-pori di kulitku.
Dia akan menertawaiku sampai jatuh terpingkal-pingkal ke tanah hingga membuat pagi datang lebih awal dari biasanya. Aku memang tak bisa mendengar suara ocehan yang keluar dari mulutnya, tapi aku mengerti apa yang dia pikirkan.
Seekor ikan yang menggelepar di atas penggorengan. Aku bertanya-tanya, ide gila macam apa yang bisa membuatnya memikirkan hal sekeji itu. Namun, ketika aku berpikir kembali semua masa lalu yang kualami. Aku mulai mengerti, dia pasti mendapatkan ide itu dari melihat orang-orang di jalanan.
Aku melihat ke arah kakiku yang tak lagi mampu berjalan. Luka yang telah lama kering masih terasa nyeri, seakan mereka berusaha menggerogoti tulangku. Rentenir yang tertawa saat dia menginjak kakiku hingga patah berkeping-keping masih sering muncul ketika aku tertidur.
Suara tawa meringis mereka, suara meja dan piring yang mereka lemparkan ke tanah. Kilatan cahaya yang terus muncul berulang kali dari gawai warga sekitar.