Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil berkeluh kesah pada kunang-kunang yang sesekali beterbangan ke segala arah tanpa tujuan.
Aku, yang mulai kehilangan akal karena kesepian, mengarahkan pandanganku pada kunang-kunang yang melayang tak beraturan di langit malam.
“Apakah dia akan meninggalkanku seperti yang lainnya?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa sadar, sepertinya aku menjadi semakin tidak waras. Aku bertanya pada kunang-kunang, namun mereka tidak menghiraukan pertanyaanku. Mereka terus terbang bebas tak beraturan di udara tanpa perlu khawatir besok mereka harus memakan apa.
Tanpa perlu khawatir utang yang terus menumpuk. Bahkan mereka tidak peduli dengan perkataan orang lain. Kebebasan mereka membuatku sangat iri. Namun rasa iri yang timbul dalam hatiku perlahan pecah bagaikan gelembung yang terkena cipratan air.
Semua perasaan itu tergantikan dengan kesedihan dan penyesalan yang tak mampu tergambarkan dengan kalimat apa pun.
Apakah malam juga akan meninggalkanku seperti apa yang dilakukan ibu kepada kakak dan aku? Apakah malam juga akan mengabaikanku seperti apa yang dilakukan tetangga yang sadar bahwa kami kelaparan? Apakah malam juga akan melupakanku seperti air yang melupakan hujan?
Aku terus bergumam sendiri, berharap kunang-kunang yang ada di luar sana akan mendengarkanku. Namun sepertinya mereka tak menggubris sama sekali. Seolah aku hanyalah pantulan cermin yang tak bisa berbicara.
Aku tersenyum lesu sambil melihat kedua kakiku yang semakin hari semakin kaku bagaikan potongan kayu. Aku mengalihkan pandanganku ke jendela dan kemudian membuat sebuah keputusan.