Pada masing-masing ruang dan lantai dihubungkan lorong-lorong gua dan tangga-tangga batu. Pada lorong ruang ke tiga, museum Gibran baru terasa dengan Gibran.
Di ruang ini ditempatkan perabot Gibran di studionya di New York. Furnitur studionya dibawa ke Lebanon. Juga buku-buku milik Gibran, manuskrip-manuskrip dan 440 lukisan asli dari tangan sang pelukis.
Barang-barang peninggalan Gibran ini sangat terawat. Ada meja dan kursi, alat masak, kanvas, serta tempat tidur yang pernah digunakan sang pujangga. Barang pribadi Gibran juga dipamerkan. Di atas tempat tidur tampak pahatan wajah Khalil Gibran.
Di ruang ke empat, tergantung sembilan lukisan Gibran. Begitulah seterusnya ke ruang berikutnya, sampai tiba di ruang goa dimana terdapat semacam lobang kecil, tempat peti jenazah Gibran diletakkan.
Saya duduk di depan makam Kahlil Gibran sambil termenung. Di depan patungnya. Wajahnya tetap menunduk. Seolah itu pose yang disenanginya. Seperti juga lukisannya. Jarang dengan wajah menatap. Kebanyakan menunduk.
Saya tatap wajah patungnya. Tiba-tiba saja saya ingin bertanya. Ini pertanyaan lama dulu waktu mahasiswa.
“Mengapa sedih? Kenapa cintamu begitu platonik? Tidak bisakah kau bawa lari si Selma Karami? Atau Mary Haskell? Malah kau membuat sendiri sayap-sayapmu patah. Rasanya kau suka mendramatisir supaya melankolis dan menjadi karya. Berarti kau egois juga. Kenapa tidak kau lamar Selma sebelum dilamar orang lain? Kenapa tidak kawin lari kalau memang mencintai? Rasanya kamu hanya senang pacaran saja he..he.. Kenapa juga tidak kau datangi May Ziyadah ke Palestina atau Mesir? Toh kau bisa bepergian sampai Amerika, Perancis dan balik ke Lebanon?”