Paradoks Penegakkan Hukum atas Komunisme dan Hikayat Tukang Cukur

Oleh: Thowaf Zuharon

Thowaf Zuharon, Pemimpin Redaksi Cendana News.

Hendropriyono yang saat ini menjabat sebagai Ketua Senat Dewan Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), justru menyebut, langkah cepat yang dilakukan pemerintah melalui Kejaksaan Agung dan TNI, harusnya diapresiasi dan mendapat dukungan semua pihak.

Bagi Hendro, langkah ini sudah benar, cepat, dan tepat untuk sifatnya pencegahan. Jadi, berbeda dengan razia buku yang pernah dilakukan aktivis LSM pada 2001.

Hendro yakin, buku yang kini sedang dirazia pemerintah adalah buku-buku yang bersifat propaganda dan bertujuan menggalang opini umum, agar menjadi kekuatan pendesak terhadap pemerintah, dan kelak ujung-ujungnya mendesak pemerintah untuk minta maaf atas pelanggaran HAM terhadap PKI.

Dalam pengamatan Hendropriyono, akibat provokasi PKI dan paham antiPancasila yang semakin marak, kondisi sosial masyarakat sudah goncang. Dalam keadaan kegoncangan itu, tindakan yang dilakukan pemerintah dalam razia buku kiri, menurut Hendro, sama sekali bukan pelanggaran hukum, karena sesuai dengan TAP MPR No.XXV/MPRS/ Tahun 1966, UU 27 tahun 1999, dan pasal 107 KUHA Pidana.

Dari berbagai pendapat di atas, tanpa perlu banyak kita perdebatkan, bagi mereka yang menentang langkah kejaksaan untuk melakukan razia buku kiri secara besar-besaran bersama aparat keamanan gabungan, kita boleh simpulkan sebagai manusia paradoks dalam konstelasi penegakkan hukum di negara ini.

Sembari menunggu wujud nyata dari Kejaksaan Agung yang akan segera melakukan razia buku kiri secara besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia, mungkin kita perlu merenung bersama; jika tim clearing house Kejaksaan Agung masih ragu dalam melakukan kesimpulan atas kajian buku komunis, siapa sebenarnya yang Maha Paradoks di negara ini?

Lihat juga...