Paradoks Penegakkan Hukum atas Komunisme dan Hikayat Tukang Cukur

Oleh: Thowaf Zuharon

Thowaf Zuharon, Pemimpin Redaksi Cendana News.

Tampaknya, paradoks atas penegakkan hukum komunisme, perlu segera disudahi. Setelah peristiwa Razia Buku Komunis oleh institusi Kejaksaan, POLRI, dan TNI menjadi polemik, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo justru mengusulkan untuk melakukan razia buku yang mengandung ajaran komunisme dan ideologi terlarang lainnya secara besar-besaran. Usulan tersebut berkaitan setelah disitanya beberapa buku di sejumlah tempat.

Prasetyo menduga, buku yang mengandung paham terlarang juga ditemukan di toko toko buku atau daerah lainnya. Buku-buku sitaan TNI dan Kejaksaan tersebut, kemudian dikaji oleh tim clearing house di Kejaksaan.

Atas nama penegakkan hukum, tentu tim clearing house di Kejaksaan tidak perlu ragu. Ada yurisprudensi yang bisa dijadikan acuan di masa lalu. Misalnya, pada 2007, Kejagung berani memberangus buku-buku pelajaran SMP dan SMA, karena tidak menyertakan Peristiwa Madiun 1948, serta tidak menyebut PKI dalam peristiwa G30S.

Peristiwa Madiun dan G30S, termasuk dalam buku pelajaran sejarah jilid III. Meski saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak, namun Kejagung bergeming.

Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, pada 2009, Kejagung melarang peredaran lima buku. Antara lain, buku Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman.

Kemudian, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan, serta buku Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.

Lihat juga...