Paradoks Penegakkan Hukum atas Komunisme dan Hikayat Tukang Cukur
Oleh: Thowaf Zuharon
Alangkah paradoks kondisi penegakkan hukum sebuah negara dan pemerintahan, ketika kitab undang-undang hukum pidananya menyatakan melarang segala bentuk komunisme dalam berbagai bentuk, baik gambar, lambang, maupun tulisan, namun aparat hukumnya membiarkan larangan-larangan itu tersebar di masyarakat.
Celakanya, paradoks penegakkan hukum negara atas komunisme itu terus dipelihara dan dirayakan. Dalih yang sempat diperdengarkan, berbagai hal tentang komunisme tersebut dibolehkan atas dasar kebebasan atas akses informasi, kebebasan mengeluarkan pendapat, serta dalih atas nama studi.
Paradoks tersebut sangat mirip dengan sebuah kisah paradoks yang cukup legendaris sejak berabad-abad lalu di kalangan para filsuf, yaitu hikayat paradoks hukum sebuah kerajaan terhadap persoalan cukur rambut dan tukang cukur.
Syahdan, pada suatu kerajaan, hanya terdapat satu tukang cukur rambut dan di daerah itu terdapat aturan-aturan yang harus ditaati.
Pertama, semua warga harus mencukur rambutnya. Kedua, semua warga tidak boleh mencukur rambutnya di kerajaan lain. Ketiga, semua warga harus mencukur rambutnya di tukang cukur. Keempat, tukang cukur hanya mencukur orang yang tidak mencukur rambutnya sendiri.
Pertanyaannya, siapa yang mencukur rambut si tukang cukur? Mengingat aturan kedua, tukang cukur tidak boleh mencukur rambutnya di kerajaan lain.
Aturan ketiga, mengatakan bahwa tukang cukur harus mencukurkan rambutnya ke tukang cukur, yaitu dirinya sendiri. Kalau begitu, ia telah melanggar aturan ke-4, yaitu hanya mencukur orang yang tidak mencukur rambutnya sendiri.
Lalu, siapakah yang mencukur rambut si tukang cukur tersebut? Dan akhirnya, si tukang cukur menjadi manusia gondrong yang rambutnya memanjang hingga puluhan meter.