Paradoks Penegakkan Hukum atas Komunisme dan Hikayat Tukang Cukur

Oleh: Thowaf Zuharon

Thowaf Zuharon, Pemimpin Redaksi Cendana News.

Bagaimana pun, atas nama pelaksanaan dan penegakkan hukum pidana terhadap tindakan penyebaran komunisme sebagai kejahatan keamanan negara, Jaksa Agung M Prasetyo tetap membenarkan ketika unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI), POLRI, dan Kejaksaan melakukan penyitaan ratusan buku yang mengandung unsur komunisme di Kediri dan Padang, pada rentang akhir 2018 hingga awal 2019.

Bagi Prasetyo, razia diperlukan jika memang buku-buku tersebut memuat ajaran komunisme. Anehnya, langkah penegakkan hukum oleh institusi Kejaksaan dan TNI ini malah mendapat tentangan dari beberapa pihak.

Alangkah paradoks dan mengenaskan, ketika sebuah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) malah menilai, tindakan jaksa agung tersebut bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UUD RI 1945.

Bahkan, PSHK malah mendorong Presiden Joko Widodo masuk ke kubangan hukum, agar Joko Widodo memberikan teguran kepada Jaksa Agung, atas pernyataannya yang tidak mencerminkan perannya sebagai pimpinan tertinggi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum.

Apakah PSHK sedang akan membenturkan Presiden, agar melawan TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 dan UU 27/1999, sekaligus mendeligitimasi KUHAP?

Padahal, Institusi Kejaksaan dan TNI justru melaksanakan penegakkan atas landasan konstitusi, untuk memerangi komunisme yang tertuang dalam TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 tahun 1966, yang memuat LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/ MARXISME-LENINISME.

Sebuah landasan hukum kenegaraan yang harus selalu ditaati dan akan terus berlaku hingga kapan pun, sebagaimana ditandaskan oleh Profesor Mahfud MD pada pertengahan 2016.

Lihat juga...