Paradoks Penegakkan Hukum atas Komunisme dan Hikayat Tukang Cukur

Oleh: Thowaf Zuharon

Thowaf Zuharon, Pemimpin Redaksi Cendana News.

Lalu, apakah warga kerajaan tersebut yakin akan mencukurkan rambutnya kepada manusia yang sangat gondrong? Bukan tidak mungkin, semua warga kerajaan tersebut, akhirnya menjadi manusia gondrong semua, berjalan ke mana-mana dengan rambut gondrongnya seperti ekor panjang yang memenuhi jalanan. Sungguh suatu kisah yang komedis, ironis, dan sangat konyol!

Bisa jadi, saya salah dalam menganalogikan penegakkan hukum atas komunisme sebuah negara dengan hikayat cukur rambut tersebut. Namun, setidaknya penegakkan hukum yang paradoks atas cukur rambut di kerajaan tersebut, jika dibandingkan dengan paradoks penegakkan hukum atas komunisme, agak mirip.

Ada nuansa inkonsistensi yang dibiarkan, tumpang tindih pemaknaan hukum, sehingga menciptakan situasi kekonyolan yang berlarut-larut.

Marilah kita kaji dan kita lihat bersama, bagaimana paradoks penegakkan hukum atas komunisme masih terus dirayakan. Lihatlah peristiwa 27 Desember 2018, lalu, ketika aparat keamanan telah mengamankan ratusan judul buku beraliran kiri dari dua toko buku di Jalan Brawijaya, Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.

Atas nama pelaksanaan dan penegakkan hukum pidana terhadap tindakan penyebaran komunisme sebagai kejahatan keamanan negara, aparat keamanan malah disalahkan oleh berbagai pihak di masyarakat, tak kecuali oleh para pejabat negara di tingkat legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

Padahal, aparat keamanan gabungan di Kediri menyatakan, pihaknya mendapatkan laporan dari masyarakat, bahwa di wilayah Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, terdapat sebuah toko buku yang menjual buku-buku berbau paham komunisme.

Lihat juga...