Ihwal Yao Min dan Gagak Air Terjun Lamuran

CERPEN EKO SETYAWAN

Yao Min kembali mengulangi hal yang sama. Ia memantahkan ranting pohon yang ada dekat dengan dirinya. Lalu mencabut rerimbunan rumput yang sudah mulai berwarna kekuningan lantas mengikatnya di ranting. Tangannya kembali menjulurkan ranting ke sungai. Berhasil.

Rumputnya tercelup dan ia tahan agak lama agar menyerap air lebih banyak. Lalu ia menariknya secara berlahan. Tetapi ketika tarikannya hampir mencapai dirinya, segerombolan gagak-gagak yang menuntunnya ke tepi air terjun itu lagi-lagi mengerubunginya. Gagak-gagak itu mengganggu Yao Min. Mengeroyok tangannya dan mematuk jari-jarinya.

“Apa yang kalian lakukan. Apa kalian ingin aku mati kehausan?” Yao Min terpancing emosinya. Ia marah pada gagak-gagak yang menuntunnya ke tepi sungai.

“Tahanlah hausmu barang sebentar, Tuan,” kata gagak-gagak itu.

“Mana mungkin aku bisa menahan rasa hausku jika di depanku sudah ada yang bisa mengusir keringnya tenggorokanku!” suara Yao Min meninggi. Ia benar-benar marah.

Yao Min murka. Ia lantas mematahkan ranting dan mengayunkannya ke gerombolan gagak. Gagak-gagak itu tak mengira jika Yao Min akan melakukannya. Mereka tak sempat menghindar. Gagak-gagak itu terkena sabetan ranting lalu terpelanting. Yao Min yang telanjur marah langsung memukuli gagak-gagak dengan beringas. Alhasil, gagak-gagak itu sekarat.

Yao Min tak lagi mempedulikan gagak-gagak itu. Ia berjalan menyusuri tebing sungai demi bisa mencapai tepian sungai dan mudah mengambil air. Dengan sisa-sisa tenaganya, Yao Min berjalan menuju hulu sungai.

Akhirnya ia berhasil menemukan jalan untuk menuruni tebing. Sesampainya di sana, alangkah terkejutnya Yao Min ketika sampai di hulu sungai yang berupa air terjun itu terdapat banyak pohon upas atau orang-orang mengenalnya dengan pohon ancar.

Lihat juga...