“Maksudmu? Sungguhkah kau yang mengatakan itu tadi wahai gagak hitam?” tanya Yao Min sembari mendongkakkan kepalanya. Ia menatap lekat pada segerombolan gagak yang telah mengagetkannya.
Angin bertiup perlahan. Menggugurkan beberapa helai daun kering yang ada di lereng gunung Tanggamus. Tubuh Yao Min tersapu lembut. Semilir angin menabrak tubuhnya. Ada udara dari surga yang ditiupkan Tuhan melalui utusannya.
Yao Min menarik napas agak dalam dan perlahan, menyimpannya sesaat lalu membuangnya kembali. Lalu ia menguatkan konsentrasinya dengan segera. Menajamkan indra dengarnya lantas menunggu burung gagak itu berbicara kembali.
“Tuan Yao Min benar. Kami yang telah mengucapkannya. Kami tak bermaksud apa-apa, hanya ingin sekadar membantu Tuan.” Gagak yang lain menyambung, berusaha meyakinkan orang yang tengah menyempurnakan penderitaannya dalam pelarian itu.
Tetapi gerombolan gagak itu benar-benar menyadari betapa sengsaranya orang yang mereka temui. “Tuan tak perlu gelisah. Mari ikuti kami. Kami tak akan memaksa Tuan Yao Min untuk meminta tolong, tetapi kami mohon ikutilah perkataan kami.”
Gagak-gagak itu terbang perlahan. Yao Min mengikutinya dengan sekuat tenaga. Mengeluarkan segenap sisa tenaganya demi menuntaskan rasa haus dan keringnya tenggorokan serta perut yang tak berisi sedikit pun makanan. Ia mengingat terakhir kali ia memasukkan makanan dalam mulutnya.
Ia menyuapkan ketela pohon yang diperolehnya ketika melawan orang-orang asing. Didapat dari kawannya di tengah gejolak.
Yao Min mengekori gerombolan gagak-gagak itu. Ia mendengar lekat suara aliran sungai yang cukup deras. Semakin ia berjalan, suara itu semakin jelas. Ia mulai melihat pantulan sinar matahari di permukaan air sungai. Semakin ia berjalan, semakin matanya silau oleh pantulan cahaya itu. Lalu ia melihat air sedikit demi sedikit.