Ihwal Yao Min dan Gagak Air Terjun Lamuran

CERPEN EKO SETYAWAN

Mereka akan berpijar bersama-sama menjadi bunga-bunga api yang memercik. Hal itulah yang membuat perlawanan semakin gencar.

Tetapi dalam pelariannya ke dalam hutan, Yao Min mengalami masalah. Sebab ia tak membawa bekal. Ia seorang diri memasuki kehidupan yang begitu hening, menyatu dengan alam tanpa membawa perlengkapan apa pun. Termasuk makanan yang menjadi kebutuhan utama menyambung hidup manusia.

Pelarian Yao Min selama berhari-hari membawanya sampai ke lereng gunung Tanggamus. Ia berhasil mencapai lereng gunung berkat kakinya yang selalu melangkah dan tak tidur berhari-hari. Juga tak memakan ap apun. Tubuhnya lunglai, lemas serupa tumbuhan yang tak terguyur air hujan selama berbulan-bulan. Tak ada harapan lagi.

Ia menyandarkan tubuhnya di bawah rindangnya pohon yang berukuran lima kali bentangan tangan manusia dewasa. Di tempat itulah ia memejamkan mata. Ia menahan haus dan lapar. Sebab selama pelariannya, ia sama sekali tak menemukan air dan makanan.

Negara sedang memanas. Begitu juga udara yang begitu menyengat, begitu lembab. Sudah beberapa bulan tak turun hujan. Menyebabkan diri Yao Min kehilangan kekuatan.

Sesaat setelah memejamkan mata, suara gagak-gagak gaduh di ranting-ranting pohon. Yao Min membuka matanya lantas menatap lekat ke atas pohon. Ada kawanan gagak di atasnya. Berwarna hitam legam.

Mereka berwujud mengerikan. Bukan karena bentuk mereka yang menyeramkan atau pun suara-suara yang melengking, namun semua telah diturunkan oleh orang-orang tua yakni tentang mengerikannya stigma gagak. Serupa doktin yang dipaksakan oleh pimpinan penjajah pada pribumi.

“Jika Tuan hendak membutuhkan bantuan, kami akan menolong. Tapi bersikaplah selayaknya orang yang meminta tolong,” ucap salah satu gagak, cakarnya mencengkram erat ranting. Yao Min tergeragap, ia kaget bukan kepalang. Ia tak percaya jika gagak itu bisa berbicara.

Lihat juga...