Mengapa orang senantiasa berharap sesuatu di sini? Di sebuah halte. Apa yang ditunggu? Apakah hanya sekadar jemputan yang membawanya pulang, ke sebuah rumah. Ah. Betapa ia merindukan bangunan rumah itu, hangat rapi, sempurna, tentu ia sangat merindukannya.
Di mana ia masih duduk dalam satu meja, sarapan pagi sampai makan malam. Ia akan mendengar tawa riang adik-adiknya, suara ibu yang lembut namun menggetarkan dadanya. Bapak yang tampil dengan penuh wibawa yang amat sangat.
Ia menanti. Entah siapa. Barangkali seorang perempuan. Sampai tubuhnya begitu letih. Sudah dua hari aku di sini, gumamnya. Hampir tidak terdengar. Hanya gemerisik angin yang menyeret plastik-plastik, menerbangkan debu-debu, menggoyangkan dahan pohon, membunyikan besi halte hingga mengingatkannya pada sebuah lonceng yang terus bergemerincing. Raib dan hilang.
Namun ia masih mendengarkan suaranya, begitu akrab, sebegitu dekat. Ia seperti telah lama mengenalnya, di suatu tempat, entah di mana. Namun, ia begitu yakin pernah menemuinya. Tapi, ia tak ingat. Ah. Alangkah pendek ingatan seseorang, membuat kita terlupa terhadap suatu hal yang remeh dan tak berarti.
Mungkinkah, perempuan itu akan datang kali ini? Mengabarkan karatnya rindu, serupa dengan besi di halte ini, menggodanya kembali dengan canda khasnya. Melupakan masalah-masalah sepele. Mungkin ia merindukan tawa khasnya, yang akan menggodanya. Mengapungkan setiap pelabuhan sunyi lelakinya.
Ia tak lagi bisa marah kali ini. Ia begitu kalap. Setengah sinting. Mendadak ia merasa berada di sebuah belukar, dengan tatapan orang-orang nanar.
“Sudah bakar saja. Biar mampus!!!” ia merasa kepalanya berdarah. Tapi, tangannya mendadak terasa berat untuk digerakkan. Seperti ada ribuan manusia yang menguncinya. Ia merasa melayang. Samar-samar. Sebuah kabut, kupu-kupu.