Halte

CERPEN ALEX ROBERT NAINGGOLAN

Tentulah, ia pelan-pelan, mencoba membangun kekuatan. Terkadang, rasa optimis bisa datang dengan cepat di dalam dirinya. Mengubur setiap rasa bosan yang melonjak, kebosanan yang menguliti tubuhnya diam-diam, menelantarkannya.

Waktu yang mendadak mengurung dirinya. Sebuah penjara. Terlalu dingin. Bosan batu. Pelan-pelan, mengendap, menyusuri setiap aliran tubuhnya. Sampai ia dapat begitu jelas mendengar suara napasnya yang mendesak keluar, sampai ia merasakan tetesan peluh yang jatuh di dahinya, juga jantung yang berdegup. Orang-orang makin banyak. Menjelma kepungan yang tak pernah dikenal sebelumnya.

Wajah-wajah masai. Rupa-rupa yang akan lenyap begitu saja. Namun, ia bersikeras untuk menunggu, membiarkan waktu mendaki kerucut tubuhnya, membiarkan hari bergulir di tubuh coklatnya.

Ia sedang menunggu. Seseorang, mungkin, entah di mana ia mengenalnya, ia telah lupa. Mungkin, ia tak perlu mengingat semuanya. Sebab, ingatan manusia terkadang terlampau pendek. Bahkan untuk mencatat sebuah sejarah.

Ini adalah hari pertama, ia begitu yakin seseorang akan datang, barangkali seorang perempuan. Perempuan yang pernah ia rindukan, sekian lama. Mengubur setiap ketergesaannya. Perempuan yang mungkin bisa membenahi langkahnya yang terasa ruwet ini.

Ia membakar sebatang rokok. Barangkali, aroma asap itu sudah sekian lama menjadi candu bagi dirinya. Teramat pahit. Namun, ia memilih untuk tetap bersetia, seperti ia menghitung guguran angin yang rubuh satu-satu di depan matanya.

Ia merasa ingin menangis. Sudah berapa lama ia tak menangis? Mengapa ia selalu tertawa? Ah, Tuhan: mengapa kita bisa berbahagia. Menafsir setiap mimpi yang bergemuruh, menyingkap setiap tudung, sejumlah harapan dan kegagalan yang bercampur jadi satu.

Lihat juga...