Sudah senja. Lelehan matahari kuning di langit. Debu-debu. Cuaca yang asing. Sekelompok burung, terbang mengitari langit. Ia teringat pada negeri, di mana ia dibesarkan. Barangkali, negeri itu telah sebegitu tua dan menari di sekelilingnya. Sudah puluhan tahun, memeras tanah, air dan udaranya.
Namun yang ditemui hanyalah tetesan darah. Berulang kali, ia melihat pembakaran demi pembakaran terus berlangsung, orang-orang memanggul kelewang, menatap dengan mata nanar, mata yang berbinar: mengusung dendam!
Sudah sekian lama, negeri ini terbelah. Mengekalkan segala bencana yang terus memetakan segala nista. Seperti sobekan leluhur yang mengerang, berteriak dalam senyap malam.
Mendadak ia merasa begitu disingkirkan. Ia telah lama kalah, dibenamkan—sampai dadanya buncah dan terbelah.
Senja hampir habis. Gelap membayang. Hampir malam. Langit berkerejap bagai sebuah hamparan yang kosong. Tak ada cahaya. Sebentar lagi, cahaya matahari akan digantikan oleh puluhan watt lampu, yang menerangi setiap benda, memberikan cahaya putih, kuning, hijau, biru. Warna-warni.
Barangkali, perempuan itu tak pernah datang…
(Kamis)
IA datang lebih pagi dari kemarin. Mungkin, ia bisa menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang berbeda dari biasanya. Tapi, halte telah sunyi. Lautan manusia belum nampak.
Sebenarnya, apa yang ditunggu seseorang dari sebuah halte? Sebuah kendaraan yang akan mengangkutnya ke suatu tempat, atau sejumput harapan yang menghilang sekejap. Kerap ia memikirkan hal-hal remeh semacam itu, semakin terasa betapa waktu telah menghilang dalam dirinya.
Apa yang ditunggu, dengan segera lenyap begitu saja. Barangkali tak ada yang abadi. Semua nampak fana. Saban malam, saban siang—ia merasa dihadapkan pada kenyataan-kenyataan yang membeku. Kemudian terjatuh dan pecah begitu saja.
Sekadar menepikan gundahnya, ia membaca buku. Sebuah buku kumpulan puisi.