Halte

CERPEN ALEX ROBERT NAINGGOLAN

Ia menanti. Di sebuah halte yang riuh. Sudah sekian lama, hingga ia tak lagi mengacuhkan waktu yang berlalu. Bukankah terkadang hidup dipenuhi dengan kegiatan yang terlampau sentimentil.

Ia ingin sekali mengubur kenangannya bersama perempuan itu, bersama musim-musim yang berlalu, bersama dengan cahaya matahari yang meninggi, mengoyak setiap kegelapan, membuka tabir, di setiap potret yang pernah ia ciptakan bersamanya. Di setiap cuaca labil yang selalu menggodanya.

Ia ingin menyingkirkan semuanya. Namun tak lagi bisa, kenangan dirinya dengan perempuan itu sudah sebegitu lekat. Sudah sedemikian akrab.
Hingga ia tak bisa mengacuhkannya begitu saja.

Setiap kali ia terpejam atau pun membelalakkan matanya yang mulai sendu itu, perempuan itu menjelma bayangan yang menjelma lindu, mengoyak keterjagaannya. Rambutnya yang sebahu, matanya yang bundar, dan tawa renyahnya yang membuat ia selalu tenggelam di sebuah dunia kanak-kanak yang mulai dilupakannya.

Terlalu penuh ia mengisi memori di dadanya. Sejak mula ia mengatakan telah lama jatuh cinta. Kasmaran. Seperti ingatan purba yang mengembara sampai ke zaman neander, bagaimana ia pertama kali mencium mulutnya dengan sebegitu nafsu. Bagaimana ia menyelinap dan merasa harus bersembunyi di bawah tubuhnya.

Meski terkadang, ia merasa dirinya terlalu cepat berubah. Seperti warna cuaca, sebegitu cepat berubah. Mungkin, ia merasa begitu sangat pembosan. Membiarkan riuh diri bergejolak, menelantarkannya, sebagaimana ombak yang begitu lelah mendaki laut, untuk mencapai bibir pantai.

Tubuhnya rubuh, berlompatan. Mengambang. Halte ini kian riuh, meski orang-orang telah pergi, hanya sebagian saja yang memilih untuk setia di sini, memilin-milin waktu, memeras usia yang tumbuh, dipenuhi cuaca yang makin asing.

Lihat juga...