Hatinya sedikit riang, ia ingin ketawa. Ternyata puisi bisa menjadi gumam yang mengasyikkan, dibandingkan harus menatap suatu yang pasti. Tapi, ia merasa sudah terlalu lelah. Matanya mendadak berair, mendadak ia rindu kembali pada perempuan itu. Sudah berapa lama perempuan itu tak kembali? Sehari? Seminggu? Setahun?
Ia menunggu. Senantiasa menunggu. Batinnya pecah. Jalanan aspal, menghitam di hadapan. Mengukir sejumlah harapan yang tak lagi kekal. Ia kembali melihat masa lalu. Kabut yang menebal. Jarak yang panjang, baginya…
***
MUNGKIN, ia tak lagi menemui perempuan itu. Batinnya sudah kapalan, mengejar cinta yang teramat tolol. Tak ada lagi tempat kembali, sebagaimana yang ia pernah harapkan sebelumnya: seorang perempuan menunggunya di dalam rumah. Tapi, ia mengerti, menunggu adalah sebuah kegiatan yang membosankan, teramat melelahkan.
Seperti menghitung kembali detik-detik dari arloji yang berlompatan keluar. Betapakah ia merasa sebegitu kehilangan, terhadap sebuah mimpi atawa canda?
Ah, mengapa kau tak kunjung datang? Ia menggumam. Gumaman yang hampir tak terdengar. Riuh orang-orang, cuaca yang asing.
Ia masih menunggu. Hari masih pagi. Ia berdiri. Matanya mengembangkan harapan, seperti ingin mencari sesuatu. Seperti menanti segala yang pernah ada. Seperti telah sebegitu lama kehilangan sesuatu. Buku puisi tadi diletakkan begitu saja. Ia merawat kembali gundah yang berkecipak di badannya. Tetesan luka itu makin perih.
Menyuguhkannya pada sebuah tubir, jejak masa lalu, kekerasan, juga bercak darah yang telah lama kering. Siapapun tahu, rahasia makin kelam. Menitipkan setiap keburaman. Ia merasa pikirannya jadi abu-abu.