Bukankah hal semacam ini bentuk ketidakadilan struktural yang terus diproduksi di negeri ini dengan mengorbankan nelayan? Pemerintah dan DPR memang telah mengeluarkan Undang-Undang No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Akan tetapi dalam implementasinya, nelayan masih belum terlindungi.
Keempat, negara lewat pemerintah mesti memastikan bahwa kemajuan teknologi informasi berbasis digital mestinya juga harus dikuasai oleh nelayan supaya mereka tidak jadi korban dari kapitalisme digital yang bisa meminggirkan mereka dari ruang hidup, kelola dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.
Mau tidak mau teknologi ini dapat memudahkan nelayan untuk memasarkan hasil produksinya, memonitor harga pasar internasional dan global, mengakses kebutuhan saranan produksi perikanan (pakan, alat tangkap, bibit) dan inovasi teknologi baru dalam budidaya perikanan dan penangkapan.
Contohnya, eFishery yakni sejenis alat pemberian pakan otomatis berbasis teknologi (Kompas, 07/04/2018). Penyediaan teknologi ini tidak mesti diimpor dari luar negeri, melainkan dapat dikembangkan dalam negeri dengan cara mendorong perguruan tinggi, dan lembaga riset untuk menemukan teknologi dan inovasi baru untuk meningkatkan produktivitas, nilai tambah olahan ikan dan produknya serta dapat diakses dan dimanfaatkan oleh nelayan.
Jika temuan-temuan itu sudah ada, pemerintah bukan mendiamkan dan hanya sampai prototype, akan tetapi menjadikan gerakan massal untuk seluruh nelayan di Indonesia. Teknologi yang paling urgen saat ini ialah pergaraman buat petani garam. Jika terabaikan, otomatis tahun 2019 Indonesia dipastikan akan mengimpor garam, korbannya selalu petani garam.