TANGGAL 6 April setiap tahun diperingati sebagai hari nelayan. Ironisnya, nelayan setiap tahunnya tak pernah naik kelas. Mereka tetap sebagai masyarakat yang selalu mengalami penindasan dan alienasi. Mereka jadi obyek penindasan pemilik modal dan negara yang mengatasnamakan pembangunan.
Mulai dari soal reklamasi, perampasan laut dan pulau kecil (ocean grabbing) dan perampasan lahan tambak/budidaya ikan (land grabbing), hingga penangkapan oleh negara tetangga Australia dan Malaysia akibat melanggar batas maritim.
Belum lagi nasib nelayan yang bekerja pada kapal penangkap ikan asing di Taiwan, Jepang, dan Rusia luput dari perhatian pemerintah, terkecuali mereka sudah mengalami bencana di laut.
Perubahan reformasi politik di negeri ini ternyata tidak berpihak pada nelayan. Penguasa boleh berganti setiap lima tahun, tapi nelayan tak beranjak berubah nasibnya.
Lantas, mengapa mereka yang mempertaruhkan hidupnya di lautan hanya demi menangkap ikan buat suplai kebutuhan pangan protein sehat tak mendapatkan perhatian setimpal dari negara?
Janganlah hanya janji angin sorga saat pemilu. Setelahnya hak hidup, kelola dan aksesnya atas sumber daya diabaikan hingga dirampas. Inilah cerminan nasib nelayan sebagai orang-orang kalah dalam percaturan sosial ekonomi.
Memuliakan Nelayan
Malaysia sebagai negara tetangga memuliakan profesi dan martabat nelayan. Pasalnya mereka berperan menyediakan pangan pokok protein yang sehat. Argumen itulah, Malaysia menyediakan jaminan sosial (asuransi) dan kesehatan, kredit murah untuk mendapatkan kapal dan alat tangkap, hingga insentif bulanan karena nelayan telah menyediakan ikan untuk dikonsumsi masyarakat.