Buruh Kapal Ikan Asing yang Terabaikan
OLEH MUHAMAD KARIM
PERINGATAN hari buruh 1 Mei 2018 lalu berlangsung meriah. Di Indonesia peringatan tahun ini cukup menarik perhatian.
Pasalnya, selain mereka menuntut perbaikan kesejahteraan, juga diboncengi aroma politik terkait pemilihan Presiden 2019. Sayangnya, di balik peringatan hari buruh, masih ada komunitas buruh yang nyaris terabaikan. Mereka adalah buruh yang bekerja di kapal ikan asing yang kerap disebut anak buah kapal (ABK).
Nasibnya memang kurang beruntung ketimbang buruh manufaktur. Mereka kerap mengalami sengketa ketenagakerjaan, penyiksaan, gaji rendah dan tak dibayar hingga perbudakan. Mereka jarang terekspos, kecuali mengalami kecelakaan kerja, masalah hukum hingga kematian.
Padahal Indonesia telah memiliki UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan UU No 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan serta Petambak Garam. Tetap saja mereka terabaikan.
Mengapa? Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO 188/2007 terkait perlindungan nelayan.
Buruh Kapal Ikan
Salah satu isu yang mencuat dalam aksi buruh 1 Mei 2018 ialah soal serbuan tenaga kerja asing (TKA) yang membanjiri tanah air. Mereka sebagian besar berasal dari China. Mereka menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No 20/2018 tentang Penggunaan TKA.
Ironisnya, aksi tahun ini tak satu pun menyuarakan dan membela nasib ABK kapal ikan asing. Padahal, mereka merupakan buruh yang bekerja di kapal ikan asing milik Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Mauritius, Malaysia hingga Rusia. Mereka menangkap ikan di perairan Samudera Hindia, Samudera Pasifik hingga Atlantik.