Buruh Kapal Ikan Asing yang Terabaikan

OLEH MUHAMAD KARIM

Muhamad Karim Dosen Bioindustri Universitas Trilogi Jakarta/Dokumentasi Pribadi

Keempat, tidak adanya kontrak kerja ABK dengan pemillik kapal ikan. Kalau pun ada kontraknya hanya ditandatangani buruh ABK dengan pemilik kapal tanpa pengesahan pemerintah asalnya atau negara pemilik kapal.

Kelima, rendahnya kompetensi dan pengetahuan ABK. Parameternya ialah mereka tak memiliki sertifikasi kompetensi kepelautan, penguasaan bahasa asing minim, dan tak memahami hak-hak dan kewajiban. Kondisi ini membuat mereka mudah tertipu.

Keenam, mereka tak mendapatkan jaminan perlindungan dan proteksi sosial berbentuk asuransi. Ketujuh, soal kesulitan hukum negara-negara bendera kapal (flag state) terkait izin penerbitan surat keterangan kematian dan pertanggungjawaban principal/ship hingga administrasi lainnya yang menimpa ABK kapal ikan asing.

Kedelapan, tata kelola ABK kapal ikan asing di dalam negeri dan internasional belum membaik. Ketentuan Maritime Law Convention (MLC) No 186/2006 terkait, bersifat ambigu karena kategori MLC tidak jelas.

Apakah mereka masuk kategori nelayan (fisherman) atau pelaut (seafarer)? Jika pelaut, mereka tidak memilliki kemampuan kepelautan berupa sertifikasi keahlian. Makanya, MLC mengategorikan tanpa keterampilan pelaut (non-rating work).

Agenda Pemerintah
Problem yang diuraikan di atas masih menyelimuti nasib ABK Indonesia di kapal ikan asing. Sayangnya, di hari buruh 1 Mei setiap tahunnya tidak ada organisasi buruh yang menyuarakan dan membela.

Karena itu agenda ke depan, pertama, pemerintah bersama negara ASEAN lainnya bekerjasama dengan ILO dan Organisasi Internasional untuk Buruh Migran (IOM) untuk meratifikasi Konvensi 188/2007. Hal ini penting agar menciptakan migrasi yang aman, mempromosikan hak pekerja migran dan mendapatkan hak-hak ABK di kapal ikan asing.

Lihat juga...