Kisah dan Fakta di Balik Aksi Kaum Palu Arit

BANDUNG — Perang mulut tak dapat dihindarkan. Suasana menjadi hiruk pikuk dan tegang. Para pihak dan pejabat tidak tahu apa yang harus diperbuat. Lalu, tiba-tiba terdengar bunyi peluit, “Priiiiit, priiiiiiiiiit,” disusul teriakan takbir, “Allahu Akbar”.

Seakan menjadi tanda isyarat, setelah bunyi peluit terdengar, sekitar 100 pemuda menghambur keluar dari loji dan masjid, lari ke arah lapangan merangsek para petani penggarap dari Barisan Tani Indonesia (BTI).

Tahu bahaya mengancam, para penggarap sebagian lari ke kebun tebu, sebagian yang lain terpaksa menghadapi amukan pemuda Islam.

Massa BTI yang lain pulang ke magersari, terus dikejar. Rumah-rumah magersari diamuk pemuda Islam, dibakar setelah terlebih dulu disiram minyak tanah. Kerusuhan itu berlangsung sekitar satu jam.

“Waktu itu, saya lagi di sawah menanam jagung, di ujung sana-sini terlihat asap mengepul. Ternyata ada pembakaran rumah. Sebagai aktivis Pemuda Ansor, saya kemudian mengajak berkumpul teman-teman dari Uterpa (Urusaan Teritorial dan Pertahanan Rakyat, semacam Koramil-saat ini),” kata Aminuddin Kasdi, dalam diskusi buku ‘Kaum Merah Menjarah’ bertajuk ‘Mengapa Islam Menolak Ideologi Komunis?’  di Islamic Festival & Book Fair Jawa Barat 2017, Pusdai, Bandung.

Aminuddin pun berusaha mendudukkan titik persoalan dan membahas langkah lanjutan terkait peristiwa amuk massa tersebut bersama pihak Uterpa.

Dijelaskan Aminuddin dalam bukunya, amuk massa itu terjadi sebagai langkah terakhir yang tak terhindarkan, setelah berkali-kali upaya penyelesaian kandas, karena tidak mencapai kesepakatan akibat membandelnya para penggarap dari BTI, dan bantuan dari yang “berkuasa” di Dati II Ngawi pun tidak dapat diharapkan lagi.

Lihat juga...