Kisah dan Fakta di Balik Aksi Kaum Palu Arit
“Jalanan menuju Training Center itu belum diaspal. Habis pengajian subuh, para santri digrebek, mereka dalam jumlah ribuan naik ke atas masjid tidak menggunakan alas kaki. Kitab-kitab segera dimasukkan kiai dalam balkon,” kata Aminuddin.
Kiai pemimpin sembahyang subuh di musholla Desa Kanigoro dianiaya, dipukuli oleh ribuan anggota BTI/PKI yang memasuki tempat ibadah itu tanpa membuka alas kaki. Para pelajar Islam anggota PII dipukuli dan diseret keluar kemudian disekap di markas polisi terdekat.
Yang membuat geram, lanjut Aminuddin, kitab suci Al-Qur’an dimasukkan ke dalam karung kemudian diinjak-injak. Insiden itu sangat menusuk perasaan serta memancing kemarahan umat Islam.
Sebulan kemudian, sekitar 6.000 massa nonkomunis membabat tanaman serta menyasar rumah-rumah orang komunis. “Meskipun tidak disangsikan, bahwa PNI dan NU terlibat di belakang layar peristiwa itu, namun PKI tidak berani menuduh secara langsung. Yang mereka jadikan kambing hitam adalah Masyumi dan DI/TII.
“Waktu itu tidak bisa (melakukan perlawanan), karena telah dipojokkan sebagai ekstrim kanan, antek Masyumi, DI/TII. Itu yang terjadi, maka kita hanya geram saja,” tutur Aminuddin.
Dalam kerangka aksi sepihak, para kiai, haji dan guru ngaji disebut sebagai tiga setan desa. Mereka melakukan eksploitasi terhadap petani dengan logika perut gendut, tenaga kerja yang tidak mampu bersaing, dan memainkan isu revolusi, karena kekayaan tidak diberikan.
Selain itu, juga mengemuka jargon ‘Revolusi Belum Selesai’, karena kekuasan ekonomi dinilai masih dikuasai kaum kapitalis dan feodalis. “PKI telah gagal, lalu gerakan revolusi sosial, namun kembali gagal sehingga ‘Revolusi Belum Selesai’ sebagai jargonnya dalam kerangka Nasakom,” kata Aminuddin.