Kisah dan Fakta di Balik Aksi Kaum Palu Arit
Aminuddin menyebutkan, waktu itu kondisi Tanah Air yang mayoritas agraris dalam kondisi kritis mengenai kepemilikan tanah. Menyitir teori yang dikemukakan oleh Posterman, dengan Index of Rural Instability (IRI), Aminnudian menjelaskan, bila jumlah tuan tanah di suatu tempat telah mencapai 40 persen atau lebih, maka keadaan di desa akan mencapai titik kritis, dan ini merupakan kondisi yang memudahkan untuk memicu sebuah pergolakan.
“Ini terbukti, baik daerah yang saya teliti di Mantingan (milik jamaah), Bungur (milik pribadi Kades), di daerah Kediri, Kaliboto,” imbuhnya.
Aminuddin menambahkan, kalau tanah milik pribadi bisa diselesaikan. Siang ditanami, malam ada yang mencabuti, musuhnya perorangan. Tapi, kalau massa PKI bermusuhan dengan kalangan pondok, kesusahan. Mengapa? Kiai, santri, pengasuh pondok merasa tidak memiliki tanah, karena itu tanah amanah wakaf. Jadi, itu milik jamaah.
“Maka, yang terjadi kemudian tawuran antara santri dengan PKI, dalam hal ini pemuda rakyat, BTI, Gerwani melawan Pemuda Ansor, Pemuda Muhammadiyah, PII,” kata Aminuddin.
Saat terjadi peristiwa di Kanigoro di Kediri, Aminuddin saat itu sekolah di PGA Malang. Sebagai aktivis PII, ia juga terlibat di sana. “Hanya saja saya tidak jadi berangkat, tinggal training di Kanigoro karena saya harus bekerja,” tuturnya.
Menurut Aminuddin, aksi teror dan PKI/BTI terhadap Training Center Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kanigoro, Kras, Kediri, di bulan Ramadhan pada 13 Januari 1965 ini, menggerakkan perhatian dan reaksi seluruh lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia.
PKI/BTI menuduh penyelenggaraan training telah melibatkan seorang mantan tokoh Masyumi dari Tulunggangung untuk memberikan materi dalam kegiatan tersebut.