Pertama, hoaks menghancurkan kebenaran sebagai fondasi peradaban. Peradaban manusia hanya dapat bertahan jika keputusan kolektif dibangun di atas fakta. Ketika jutaan orang setiap hari terpapar informasi palsu, batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur.
Opini pribadi diperlakukan setara data ilmiah. Viralitas menggantikan validitas. Masyarakat kehilangan kompas intelektualnya.
Kedua, hoaks meruntuhkan kepercayaan sosial. Data menunjukkan tingginya paparan hoaks berbanding lurus dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap media, pemerintah, dan institusi ilmu pengetahuan. Ketika kepercayaan hilang, solidaritas melemah. Masyarakat saling curiga, mudah terprovokasi, dan terpolarisasi. Peradaban tanpa kepercayaan adalah peradaban yang rapuh.
Ketiga, hoaks merusak rasionalitas dan budaya berpikir kritis. Paparan informasi palsu secara terus-menerus membuat masyarakat terbiasa bereaksi secara emosional. Ketakutan, kemarahan, dan fanatisme lebih dominan daripada nalar. Dalam jangka panjang akan melahirkan generasi mudah dimanipulasi. Tetapi sulit diajak berdialog secara rasional.
Keempat, hoaks menimbulkan dampak nyata terhadap keselamatan manusia. Hoaks kesehatan mendorong penolakan terhadap vaksin dan pengobatan ilmiah. Hoaks bencana memicu kepanikan massal. Hoaks kriminal dan sosial sering berujung pada tindakan main hakim sendiri. Hoaks tidak lagi bersifat abstrak. Tetapi berkontribusi langsung pada penderitaan dan hilangnya nyawa manusia.
Kelima, hoaks merusak demokrasi dan tata kelola masyarakat. Manipulasi informasi digunakan untuk membentuk opini publik, memperdalam polarisasi politik, dan melemahkan legitimasi proses demokrasi. Ketika masyarakat tidak lagi sepakat tentang fakta dasar, dialog publik berubah menjadi konflik permanen. Ini membuka jalan bagi instabilitas dan otoritarianisme.