Berdasar laporan sebagaimana direkam data digital, penyebab lainnya adalah: kontaminasi mikrobiologis. Pengolahan / memasak tidak memenuhi standar higienis / tidak merata panasnya (tidak pada suhu pembunuh bakteri). Penyimpanan dan distribusi yang buruk. Kualitas bahan baku yang buruk / sudah terkontaminasi sejak awal (hulu). Kontaminasi bahan kimia / toksin (satu kasus di Kalimantan Barat, diduga keracunan ikan Hiu mengandung merkuri). Kurangnya pengawasan / lemahnya penerapan prosedur keamanan pangan. Ada juga yang disebabkan alergi.
Jika mengacu prosentase kejadian, insiden keracunan MBG terjadi akibat tidak taat SOP. Oleh sejumlah kecil SPPG. Terbukti yang lain mampu menyediakan makanan dengan aman.
Terlepas dari statistk itu, workload (beban kerja) akibat mengejar target tidak mustahil akan terulang terus menerus. Penyediaan 3000 porsi untuk sampai kepada end user (pengguna akhir) pada waktu bersamaan merupakan pekerjaan penuh risiko. Rentang kendalinya terlalu panjang.
Keracunan MBG kemungkinan besar merupakan “alarm”. Desain operasional belum sesuai kapasitas dapur.
Selain workload, rentang kendali MBG saat ini tidak efisien. Mulai dari GBN, SPPG, Mitra Insvestor hingga sampai end user, memerlukan cost mahal. Dari anggaran Rp. 15.000,- per porsi, siswa sebagai pemanfaat utama hanya mendapatkan Rp. 10.000,- perporsi. Anggaran ini banyak terbuang di jalanan. Kualitas gizi yang diterima siswa juga jauh berkurang.
Solusinya bagaimana?. Desentralisasi layanan. Workload itu harus diurai.
MBG tidak memerlukan rentang kendali terlalu banyak. Cukup dari BGN, langsung ke sekolah. Kasus dana BOS bisa langsung distribusi dan dikelola sekolah. Tanpa melalui jenjang struktur panjang dan buang-buang anggaran.