Gaza: Paradoks Aksi

Pertama, Fenomena Paradox of Action. Paradoks Aksi. Pada saat pemerintah benar-benar bertindak, sebagian publik merasa “care-nya diambil alih negara”. Publik menjadi merasa kehilangan ruang ekspresi. Aksi pemerintah justru dicurigai sebagai pencitraan politik.

Fenomena seperti ini sering muncul di negara demokrasi. Ketika suara rakyat “dikerjakan” oleh negara. Muncul kecurigaan ada agenda tersembunyi.

Kedua, Fenomena Politicization of Solidarity. Bahwa sejatinya isu Gaza selama ini hanya dijadikan komoditas politik oleh pihak tertentu. Alat menggalang massa, mengukuhkan identitas kelompok. Bahkan mobilisasi dukungan partai.

Begitu pemerintah mengambil langkah besar (airdrop, rencana rumah sakit, dll.), sebagian kelompok merasa kehilangan “monopoli isu”. Maka muncul reaksi balik, berupa framing negative. Panggung politik mereka terancam direbut pemerintah.

Ketiga, Fenomena Cognitive Dissonance (Kebingungan Kolektif). Sebagian masyarakat sudah terlanjur menaruh skeptisisme permanen pada pemerintah. Ketika pemerintah melakukan hal baik pun, mereka mengalami disonansi kognitif: sulit menerima bahwa “lawan politik” bisa melakukan kebaikan.

Cara meredakan konflik batin itu adalah dengan menyerang, menjelekkan, atau menolak. Meskipun secara logika bertentangan dengan aspirasi awal.

Keempat, Fenomena Identity Politics vs National Policy. Solidaritas terhadap Gaza di tingkat umat/grassroots biasanya dibangun lewat narasi keumatan. Sedangkan langkah pemerintah selalu hadir dalam bingkai kebijakan nasional.

Ketika dua narasi ini bertemu, sering muncul benturan identitas. Sebagian merasa pemerintah “tidak berhak” mengklaim peran. Solidaritas keumatan dianggap milik umat, bukan negara.

Lihat juga...