Langit Jingga berusaha menyentuh ujung gerigi itu, seketika itu tubuhnya bergetar, dan telapak tangannya menjadi memerah.
Pada saat itu lambat laun Langit Jingga seperti merasakan semacam kecemasan, yang membuatnya seakan tak kuat lama-lama menyentuhnya, tapi Langit Jingga berusaha bertahan, yang setelah beberapa waktu kemudian dia terbayang-bayang kejadian yang melingkupi kapak itu.
Malam itu juga Langit Jingga dengan Kapak Berduri di tangan pulang ke kampungnya. Aroma anyir darah seperti menguar di sepanjang perjalanan, yang mungkin hal itu membuat Langit Jingga seperti tidak dalam kesadarannya.
Malam itu, di pintu gerbang perguruan, salah satu penjaga yang bertugas di sana melihat ada lelaki berbadan besar dan tegap masuk ke dalam bangunan perguruan.
Lelaki itu sedang memegang kapak dengan kemilau darah yang licin terpancar dari ujung gerigi kapaknya, seperti sebuah gambaran ada banyak kegetiran di celah gerigi-gerigi itu.
“Saya melihat orang masuk,” kata penjaga itu kepada yang lainnya
“Hahh! Mengapa tidak kau tahan?” sahut penjaga yang lain, dan ketika mereka bersama-sama memeriksa ke dalam bangunan perguruan, tidak ditemukan siapa pun.
Sementara itu, Langit Jingga telah sampai di rumahnya. Semalaman dia istirahat ditemani kapak itu sembari mengenang ayahnya sampai raganya terlelap. Ketika fajar belum benar-benar datang, Langit Jingga telah bangun, lantas melakukan perjalanan menuju ke Perguruan Kapak Berduri.
Mendaki perbukitan dan menuruni lembah. Kira-kira Langit Jingga telah mendapat setengah perjalanan, dalam bayangannya dia melihat sebuah gubuk kecil di sebuah bukit yang akan dia lintasi.