Setelah enam bulan, tiba waktunya si burung hantu menagih janji si ular. Si ular kecil kini tidak lagi kecil. Ukurannya sudah layak untuk mengenyangkan perut burung hantu selama satu dua hari.
“Sudah saatnya aku memakanmu.”
“Ya, Tuan. Sudah enam bulan, dan aku sudah cukup besar.”
“Bersiaplah.”
Tiba-tiba si burung hantu berbaring di tanah saat hampir mematuk tubuh si ular. Dia menghela napas panjang. “Aku sudah cukup tua untuk ukuran burung hantu yang hidup di alam liar. Selama enam bulan ini kita bahkan tidak menemukan burung hantu lain di hutan ini. Kurasa kau pun sadar bahwa kita semakin kesulitan mencari mangsa belakangan ini. Aku sudah lelah melawan bencana kekeringan yang tak kunjung usai ini. Pergilah kau. Biarkan aku mati di sini.”
“Baik, Tuan. Terima kasih.”
Si burung hantu memejamkan matanya. Setelah beberapa menit, si ular sudah melilit si burung hantu dan menggigitnya. Tubuh si burung hantu kini tidak dapat bergerak akibat bisa yang telah menjalar ke seluruh sistem tubuh. Si ular menelan burung hantu yang tidak berdaya itu, bulat-bulat.
Beberapa jam setelahnya, hujan turun untuk pertama kali setelah sekian lama. ***
Liswindio Apendicaesar, bergiat di Komunitas Sastra Pawon, Solo, Jawa Tengah. Pada tahun 2019, beberapa karyanya terpilih mengikuti Festival Sastra Bengkulu, Hari Puisi Riau Membaca Asap, dan Festival Literasi Tangsel. Akhir tahun 2019 juga tergabung ke dalam tim penerjemah di Intersastra untuk menerjemahkan cerpen. Karya sastranya pernah dimuat di Tempo dan Pikiran Rakyat. Tulisan berbahasa Inggris pernah dimuat di Fahmidan Journal, Mixed Mag, dan Analogies & Allegories Literary Magazine. Buku kumpulan cerpennya berjudul Malam untuk Ashkii Dighin (Bukukatta, 2017).