“Kita sampai. Tuan tungguhlah sebentar di sini. Maaf karena sarang keluargaku terlalu sempit untuk seekor burung hantu dewasa.“
Burung hantu menunggu anak ular tepat di depan sebuah belukar kering, dan di baliknya terdapat lubang dangkal. Dia bisa membayangkan sebelum musibah kekeringan di dunia terjadi, sarang itu pastilah sebuah sarang yang lembab dan sejuk, tertutup oleh belukar lebat yang hijau subur.
Setelah berbelas menit lebih dia menunggu, akhirnya rasa tidak sabar dan prasangka buruk memenuhi emosinya. Dia sudah terlalu lapar untuk menunggu santapannya muncul. Tidak mungkin menunggu lebih lama lagi dari ini. Si burung hantu akhirnya menengok ke dalam sarang yang gelap itu.
Di sana dia terkejut menemukan si ular kecil menangis. Kedua orang tuanya masih bernapas, tapi tidak dapat bergerak atau merespon apa-apa. Mereka terlalu lemah karena sudah tidak makan berbulan-bulan. Ternyata bukan cuma si burung hantu yang menderita kelaparan. Sejenak rasa iba meredakan kekesalannya.
“Tuan… maafkan aku, kau harus menunggu terlalu lama. Orang tuaku, tidak bisa bergerak lagi. Aku tidak tahu bagaimana caranya membawa mereka keluar. Aku ingin menepati janjiku, tapi aku tidak tahu harus bagaimana.“
Seketika si burung hantu teringat bahwa tujuannya datang ke sini adalah untuk makan. Kini mangsanya ada di hadapannya. Rasa iba yang tadi sempat muncul tak lagi mampu bersaing dengan lapar yang semakin mengiris perutnya.
Kesadarannya pun seketika diambil alih oleh nafsu makan yang sangat besar. Tanpa tedeng aling-aling, kebuasannya ditunjukkan di hadapan si ular yatim piatu itu.
Sarang ular tersebut dirusak agar dia dapat menjangkau dua ular dewasa yang besar. Paruhnya langsung mencabik mangsanya dan dengan cepat dia telan semua potongan tubuh ular yang muat ke dalam mulutnya.