Tak puas hanya memakan satu ular dewasa, dia cabik dan makan pula ular dewasa yang lainnya. Entah kapan terakhir kali dia merasakan kenikmatan seperti ini. Rasa lapar setelah tiga hari akhirnya sungguh terpuaskan.
Si anak ular tiba-tiba tertawa. Hal tersebut mengejutkan si burung hantu yang hampir kekenyangan. Menyadari si burung hantu yang berhenti menyantap orang tuanya akibat gelaknya, dia segera menahan tawa.
“Maaf, Tuan. Maafkan aku mengganggu jam makanmu. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu. Aku hanya… berterima kasih, kurasa. Terima kasih karena telah memangsa orang tuaku. Kini aku tak perlu khawatir lagi untuk mencarikan mereka makanan, tak perlu khawatir mereka akan memakanku jika mereka kesal dan tak lagi dapat menahan lapar. Kau lihat, aku cuma sendirian, kan? Aku yang terakhir di sini.“
Si burung hantu pun tersadar bahwa si ular kecil ini tidak memiliki saudara. Sebuah sarang ular seharusnya dipenuhi dengan lebih dari satu ular anak-anak. Biasanya terdapat banyak ular dalam satu sarang ular. Tapi sarang ini hanya berisi tiga ular.
“Baiklah, Tuan. Aku sudah memenuhi janjiku. Kini kau tidak lagi kelaparan.“
“Tunggu dulu! Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku tidak akan memakanmu sekalian? Kau ular kecil yang licik. Kau bahkan tega membiarkan orang tuamu dimakan. Kau bahkan tertawa menontonnya.“
“Aku mohon, Tuan. Bukankah burung hantu adalah hewan yang sangat bijaksana? Kau tidak mungkin ingkar janji kepadaku. Lagi pula kalau kau kekenyangan karena memakanku juga, nanti kau akan memuntahkan semua yang telah kau telan. Akhirnya kau tidak jadi memakan apa pun, dan akan mati lemas.“