Hutan Lapar

CERPEN LISWINDIO APENDICAESAR

Berkali-kali si burung hantu mencoba menangkap mangsa kecilnya itu, berkali-kali pula dia gagal dan hanya menambah beban kelelahan kepadanya.

“Baiklah. Aku menyerah. Mungkin ini sudah nasibku mati kelaparan. Menangkap mangsa cilik sepertimu saja ternyata aku tidak mampu. Tidak mungkin aku bisa mengejar mangsa yang lebih besar darimu.“

Si burung hantu berjalan pergi meninggalkan si ular kecil—ia terlalu lelah untuk terbang—sampai tiba-tiba si ular berteriak memanggilnya.

“Tunggu dulu. Hey, Tuan burung hantu. Tunggu dulu.“

Si burung hantu menghentikan langkahnya dan kembali menengok ke lubang yang memerosokkan si ular.

“Ada apa lagi? Aku tidak jadi memakanmu. Aku tidak akan menghabiskan tenagaku untuk susah payah mengeluarkanmu dari sana. Lagi pula kalau kau keluar pun, belum tentu kau bisa terus hidup untuk waktu lama. Makanan di hutan ini sudah sulit dicari.“

“Aku mohon keluarkan aku dari sini. Aku tidak mau mati sendirian. Aku akan membawamu ke tempat orang tuaku. Dan kau… kau bisa memakan mereka. Mereka cukup besar. Kau pasti akan kenyang dan tidak jadi mati kelaparan.“

“Ular kecil gila! Kau rela mengorbankan kedua orang tuamu demi nyawamu sendiri yang belum tentu berumur panjang? Dasar anak durhaka. Kurang ajar sekali.“

Rasa terkejut si burung hantu mengalahkan tubuhnya yang sudah lemas akibat kelaparan. Kesadarannya yang tadinya sudah menurun kembali pulih.

“Aku mohon, Tuan Burung Hantu. Keluarkan aku dan aku janji kau tidak akan mati kelaparan.“

“Atau jangan-jangan kau ingin menjebakku? Kau ingin membawaku ke sarangmu agar orang tuamu nanti akan memakanku? Ular memang licik. Kau pikir aku bodoh hanya karena aku kelaparan? Lagi pula mulutku tidak muat untuk ular yang terlalu besar. Ukuranmu saja sudah cukup bagiku.“

Lihat juga...