“Kalau begitu aku akan menunggu sampai aku tidak lagi kenyang, lalu aku akan memakanmu.“
Si ular kecil terdiam beberapa saat. Dia tahu saat ini dia tidak lagi dalam posisi tawar-menawar terhadap si burung hantu. Dia berpikir siasat lidah apalagi yang harus dia mainkan untuk menyelamatkan dirinya kali ini.
“Baiklah, Tuan. Kau boleh memakanku, tapi tidak sekarang. Tunggu aku agak besar dulu. Kau telah menyelamatkan nyawaku bukan hanya dari lubang tadi, tapi juga dari kedua orang tuaku. Aku ingin membalas jasamu dengan memberikan nyawaku. Namun, kalau kau memakanku sekarang, maka balas budiku tidaklah setimpal dengan jasamu.“
“Kalau kau kubiarkan pergi, bagaimana mungkin aku akan menemukanmu dan memakanmu setelah kau agak besar nanti?“
“Aku tidak pergi, Tuan. Aku akan ikut bersamamu. Kita akan mencari mangsa bersama-sama. Itu akan mempermudah pekerjaan kita. Kita akan membagi dua makanan kita. Dalam bencana kekeringan seperti ini, lebih baik membagi dua makanan daripada tidak mendapatkan makan sama sekali. Sampai aku nanti berukuran cukup besar dan mampu membuatmu kenyang, silakan memakanku. Dengan senang hati aku memberikannya waktu untukmu. Bagaimana, Tuan?
Si burung hantu berpikir sebentar, lalu bertanya, “Berapa lama kita harus menunggu sampai kau cukup besar?”
“Enam bulan. Berikan aku waktu enam bulan, baru kau boleh memakanku.“
Burung hantu setuju, dan mereka pun berkelana bersama mencari mangsa di seluruh hutan. Si ular kecil benar, ternyata dia sangat berguna bagi si burung hantu mencari makanan.
Instingnya sangat tajam dalam menemukan mangsa-mangsa kecil yang bersembunyi di balik semak kering, dalam batang pohon, dan lubang-lubang di tanah. Dia juga pandai menjebak dan melilit mangsa sehingga memudahkan si burung hantu dalam menangkap buruan.