Ketika aku sibuk membilas kain dari lilin yang berminggu-minggu lamanya kubatik, Kinan mendapat bisikan gaib untuk mengikuti kucingnya yang tiba-tiba muncul —bukan untuk pulang, melainkan lewat saja. Kucingnya tengah dibuntuti seekor jantan genit.
Jadilah Kinan membuntuti sepasang kucing birahi alih-alih melupakan laranganku untuk tidak bermain di luar rumah dan kebiasaan yang kuajarkan untuk menutup pintu rumah serta jendela saat datang senja.
Kinan tersihir bulu-bulu kucingnya yang memantulkan cahaya jingga. Tentu saja kucing-kucing birahi itu bergerak sangat lincah dan binal.
Setengah jam membuntuti kucingnya, Kinan menyadari ia tersesat di tengah hutan yang berbatasan langsung dengan kampung tempat tinggal kami di sisi barat dan selatan.
Kinan kehilangan peraduannya saat cahaya jingga di ufuk barat surut dan berganti gelap sempurna. Kinan merasa asing dan sendiri. Takut dan cemas menjalar ke seluruh tubuhnya.
Kinan berteriak memanggil kucingnya, tapi tidak ada yang tahu arti teriakan itu, kecuali aku dan kucingnya yang tengah mabuk birahi.
Ketika dia menangis, dari arah gelap, seekor kucing sebesar laki-laki dewasa dengan bulu-bulu lembut yang mengendus kehadirannya, menyergapnya tiba-tiba. Kinan ditemukan telanjang di tengah hutan keesokan harinya oleh orang kampung.
Mulanya aku dan orang-orang tak khawatir dengan perubahannya. Saat matahari tampak, dia menggelung tubuhnya di kamarnya dengan isakan kecil. Tapi, perilakunya berubah sejak senja datang, dia menjadi begitu cemas dan gelisah, tubuhnya menggigil dan terus berteriak histeris.
Tapi, aku tak berdaya ketika orang-orang memutuskan memasung Kinan setelah ia menangkapi, menyembelih, dan menguliti kucing-kucing kampung.