Setelah Kereta Melintasi Bendung Gerak Serayu

CERPEN MUFTI WIBOWO

Lelaki itu menatap lantai, mungkin merasa ditelanjangi jawaban istrinya.

“Di dunia ini, aku paling mengerti arti kehilangan. Dua kali aku kehilangan anak. Yang pertama mati saat dia masih dalam bentuk segumpal darah. Yang kedua mati setelah kulahirkan. Sekarang kamu ingin aku membunuh Kinan? Aku tak ingin kehilangan untuk yang ketiga kalinya,” lanjut wanita yang tak lagi merasakan air matanya menyungai.
***

LAKI-LAKI itu pergi, Kinan berdua denganku. Kinan mendadak menjadi pemurung ketika seharusnya dia lebih bahagia karena bebas bermain dengan kucingnya, sementara aku menjadi lebih sibuk karena menerima lebih banyak pesanan batik untuk bertahan hidup.

Aku memeram kekhawatiran yang makin hari menyesakkan dada. Kinan menelantarkan kucingnya. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, kucing itu pergi bila datang musim kawin lalu kembali ke pangkuan Kinan selama masa mengandung sampai melahirkan.

Tentu saja Kinan tak pernah tahu hal semacam itu. Kucing itu telah berhari-hari pergi. Terakhir, aku melihatnya di semak-semak dengan bulunya yang dekil dan tulang-tulang rusuk yang menonjol tak jauh dari rumah.

Kucing itu pergi karena Kinan tak lagi memberi makan dan membersihkan kandangnya. Kucing itu tak akan berani mencuri makanan di meja makan. Kucing itu mungkin belajar dari kesalahannya bertahun-tahun lalu saat ayah Kinan memergokinya naik ke meja makan.

Akibatnya, mata arit yang mengilat keperakan itu hampir memisah kepala dari tubuhnya. Kucing itu beruntung, teriakan Kinan —beberapa detik sebelum ayunan arit yang biasa digunakan merumput—mencegah kebrutalan ayahnya yang mungkin membuat kucingnya meregang nyawa.

Lihat juga...