PENUMPANG kereta yang sering melintasi jembatan rel yang membelah Bendung Gerak Serayu tentu tahu, mereka akan memalingkan wajah ke kanan atau kiri, saat kereta yang mereka tumpangi membelah ketenangan Bendung Gerak Serayu.
Mereka berharap untuk melihat seorang ronggeng menari di atas permukaan air sungai yang kehijauan. Pada saat itulah, keajaiban itu datang. Setelah lima menit tak bernapas dan detak jantungnya berhenti, bayi Kinan menunjukkan tanda-tanda masih ingin bertahan hidup.
“Ke mana kamu akan membawa aku dan Kinan pergi?” tanya seorang perempuan yang mendekap anak bayinya yang mulai mendingin kepada suaminya. Mereka baru terusir dari surga setelah si suami mencuri kotak amal masjid. Beruntung, dia tak mati diamuk.
Seorang kiai meredam amarah orang-orang itu. Kiai itu malah memberi mereka bekal yang membuat mereka berada di dalam gerbong yang diseret lokomotif sejak stasiun L. Sebelumnya, rumah dan sepetak tanah—harta mereka satu-satunya, warisan orang tua—dijadikan tumbal pembangunan bandara.
Mereka mengubah rencana dengan turun di stasiun P untuk membawa bayi itu ke rumah sakit. Seharusnya, empat atau lima jam lagi mereka baru turun di sebuah stasiun tujuan.
***
MALAM itu sungguh tak akan terlupakan, hatiku remuk redam, hancur. Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang memasung Kinan yang telah remaja. Tubuh Kinan yang hanya dibalut kain kumal teronggok bagai mayat setelah usahanya membelot berakhir sia-sia di sebuah tempat bekas kandang kambing di belakang rumah kami.
Di kandang itulah, dulu, ayah Kinan memelihara kambing-kambingnya setelah kami memutuskan tinggal di P. Dengan uang yang diberikan seorang kiai yang menyelamatkan nyawanya, dia dapat membeli sepasang kambing dewasa untuk kemudian beranak-pinak.