Barulah kemudian ketika Uni Siti kembali ke kamar dan membawa makan pagi untuk nenek, ia mendapati nenek tak lagi menyahut dan terus terpekur di ujung dipan. Uni Siti meraung.
Semula, Ibu ingin agar nenek dikuburkan bersebelahan dengan kakek di Guguak, dan untuk itu ia bersedia menemui Karanih dan anggota keluarga kakek lainnya untuk meminta izin.
Namun, ternyata tanpa diketahui anak-anaknya, nenek telah meninggalkan pesan pada Uni Siti kalau ia ingin dikuburkan di belakang rumah kami saja, bukan di Tanjung seperti yang dulu dipesankan kakek.
Selain itu, ia juga menyinggung soal kuburan kakek. “Nanti, kalau tak memberatkan, aku minta agar kuburan suamiku juga dipindahkan dari Tanjung ke sini. Ia pasti kesepian di sana. Jauh dari anak-cucunya.”
Seusai pemakaman nenek, Uni Siti bercerita kepada kami, “Sehari sebelum ia meninggal, nenek menyuruhku membawanya ziarah ke kuburan kakek. Ia tidak tahu kalau kuburan kakek sudah dipindahkan ke Guguak.” Uni Siti sesenggukan.
“Aku lalu ke rumah mamak Tando, dan bilang pada nenek kalau aku akan mengajak Ilis untuk membantuku membawa beliau ke Tanjung. Namun sebenarnya aku hanya ingin mengulur-ulur waktu.”
Dengan sebuah gerobak dorong, Uni Siti dan Uni Lis kemudian membawa nenek ke Tanjung. Tapi di tengah perjalanan tiba-tiba nenek meminta kembali ke rumah kami. Katanya ia sudah bertemu kakek di jalan, dan ia tak ingin nenek ke Tanjung.
***
PULUHAN tahun berlalu sejak kepergian nenek. Selama itu pula aku, Iman dan Uni Siti memilih untuk tidak menceritakan sepotong kisah tentang nenek yang hanya kami bertiga yang tahu.
Pada hari di saat orang-orang membongkar rumahnya, nenek yang saat itu masih kuat berjalan, meminta kami membawanya menemui Karanih di sawah tak jauh dari rumah Koto Rajo.