Rumah Nenek

CERPEN AFRI MELDAM

“Sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa mengikhlaskan tanah itu menjadi hak milik mereka. Tak akan pernah…”

“Andai saja Nga Liman tidak mati muda. Ia pasti tak akan membiarkan Karanih mengambil tanah yang sudah diberikan Bapak.”

Mamak Tando, saudara laki-laki ibu satu-satunya, bahkan menantang Karanih untuk melakukan sumpah atas kesaksian yang ia berikan. Namun, nenek melarang.

“Biarkan mereka mengambil tanah itu,” tukasnya sambil terus mengunyah sirih.

Satu hal yang tidak diketahui nenek, yang kemudian menjadi sesal bagi Ibu dan saudara-saudaranya, adalah bahwa selain membongkar rumah gadang, Karanih juga meminta agar kuburan kakek dipindahkan dari sana. “Kami punya pandam di Guguak. Kenapa ia harus dikuburkan di sini?”

Dari orang-orang di kampunglah, jauh setelah hari itu, aku kemudian tahu bahwa kakek dan Karanih adiknya telah berseteru sejak lama.

“Mereka mencintai gadis yang sama. Gadis yang tangannya begitu lincah memainkan lagu-lagu canang. Pemuda mana yang tidak jatuh hati pada Mariani, nenekmu!”

Ketika akhirnya gadis yang ia cintai menikah dengan kakaknya, Karanih menyembunyikan dendam dan mengobati patah hati dengan pergi merantau ke Kuantan. Ia menjadi penderas getah di kebun-kebun karet hingga menikah dan memiliki anak di sana. Namun, sekian puluh tahun berlalu, dendam itu ternyata terus memanggang hatinya.
***
NENEK meninggal pada suatu pagi tak lama setelah rumah mereka di Tanjung dibongkar. Uni Siti yang tidur bersama nenek malam itu tak menyadari bahwa nenek sudah tidak ada. Selesai salat Subuh, ia melihat nenek duduk bersandar di ujung dipan kayu sambil memegang foto kakek, seperti yang sudah-sudah.

Lihat juga...