Dan ia pun berpesan agar nenek juga dikuburkan di sana nantinya. “Guguak terlalu jauh dari rumah. Aku ingin dikubur di belakang rumah saja. Biar aku selalu bisa melihat anak-anak dan cucu-cucuku.”
Tanah tempat kakek mendirikan rumah yang kemudian ia tempati bersama nenek dan anak-anaknya adalah tanah pemberian ayah kakek, Datuk Putiah. Di kampung saat itu, Datuk Putiah yang juragan kelapa memiliki tanah berbidang-bidang, yang pada saat ia akan meninggal ia bagi-bagikan secara merata kepada anak-anaknya.
Entah karena alasan apa, tanah yang mereka tinggali tak sempat dibuatkan sertifikat oleh kakek, dan ia hanya berpesan kepada kemenakannya agar tidak mengusik rumah dan tanah tersebut, lalu menyerahkan sejumlah uang kepada adik tertuanya, Liman, untuk membuatkan sertifikat tanah atas nama nenek. Namun, sepeninggal kakek, wasiat itu tak pernah terlaksana.
Cerita yang berbeda tentang tanah itu kami dengar dari keluarga kakek sendiri, yang disampaikan oleh Karanih, adik bungsunya. Ia mengatakan bahwa benar kakek berpesan kepada Nga Liman, tapi bukan untuk membuatkan sertifikat tanah atas nama nenek.
Nenek hanya diperbolehkan tinggal di tanah itu hingga semua anak-anaknya menikah. Setelahnya, secara adat tanah itu akan sepenuhnya kembali menjadi hak milik keluarga kakek. Dan nenek harus kembali ke Koto Rajo.
“Aku tak pernah mendengar cerita seperti itu!” Etek Jariah hampir saja berteriak begitu ibu menyampaikan kepadanya tentang alasan keluarga kakek meminta kembali tanah di Tanjung. “Karanih jelas mengada-ngada.”
“Tapi mereka punya sertifikat sah tanah tersebut. Apalagi yang bisa kita perbuat selain mengikhlaskan semuanya?” Ibu berusaha tenang.