Konon, dulu sewaktu muda nenek memang terkenal sebagai pemain canang yang sangat berbakat. Dan pertemuannya dengan kakek pun katanya tak terlepas dari kepiawaiannya memainkan alat musik pukul tersebut. Nenek dan kakek berasal dari kampung yang berbeda.
Nenek berasal dari Koto Rajo, sedangkan kakek adalah anak juragan kelapa dari Tanjung. Meski berdekatan, namun mereka tak pernah benar-benar saling mengenal satu sama lain. Hingga pada suatu hari, seorang tauke karet mengadakan pesta pernikahan anaknya di Koto Rajo.
Selain menampilkan atraksi silat dan randai, kemeriahan pesta tentu tak lengkap tanpa bebunyian canang dan gendang. Maka, nenek pun diminta untuk memainkan canang di rumah sang tauke. Di sanalah ia kemudian bertemu dengan kakek, yang tak lama setelah hari itu datang meminangnya ke Koto Rajo.
***
HARI ketika rumah nenek dibongkar, Ayah tak mengizinkanku ikut bersamanya ke Tanjung. Aku dan Iman disuruh menjaga nenek bersama Uni Siti.
“Apa kuburan kakek juga akan dibongkar?” Kudengar Iman bertanya pada Uni Siti begitu Ayah dan Ibu pergi dan kami kembali ke kamar nenek.
Kaget, Uni Siti menarik Iman menjauh dari sana, lalu menjewer telinga kakak laki-lakiku itu beberapa kali. “Iman, kamu tahu dari siapa soal kuburan kakek?”
“Jamin yang bilang. Katanya, Ibu yang meminta bantuan bapak Jamin untuk menggali kuburan kakek.”
***
KUBURAN kakek terletak persis di belakang rumah mereka di Tanjung. Kelak aku tahu bahwa kakek sendirilah yang memilih tanah di belakang rumah mereka sebagai tempat persemayaman terakhirnya, bukan di pandam kuburan di Guguak, tempat keluarga lain dikuburkan.