SEPENINGGAL ayah, ibu lebih banyak menghabiskan waktu di depan mesin jahit. Saking seringnya ibu begitu, benda itu seperti menjadi pengganti ayah.
Ada yang berubah dari hari-hari ibu bukan tanpa alasan. Semenjak ayah pergi meninggalkan kami berdua, orderan jahit permak seperti arus sungai di musim penghujan.
Hampir setiap hari ada orang yang datang ke rumah—jumlah orang yang datang tiap harinya tentu saja berbeda-beda. Tidak hanya aku, ibu juga tidak habis pikir dengan apa yang terjadi.
Apakah ini yang dinamakan Tuhan Maha Kuasa? Padahal semasa ayah masih ada, orderan jahit permak tidak selaris sekarang.
Sudah empat tahun ini ibu membuka jasa jahit permak atau sejak aku menginjak kelas enam sekolah dasar. Sebelum ibu membuka jasa jahit permak, aku masih ingat, saat itu beberapa kali aku meminta uang jajan kepada ibu dan ibu tidak pernah memberiku uang.
Lauk di meja makan juga hanya tempe goreng kalau tidak telur dadar ditemani sambal—hampir setiap hari lauk ini ada di meja makan. Ibu sering cekcok dengan ayah. Aku pasti menangis saat ibu dan ayah bertengkar.
Ya, ibu membuka jasa jahit permak dilatarbelakangi masalah ekonomi. Mesin jahit yang ada hingga saat ini merupakan hasil dari penjualan perhiasan milik ibu. Ayah hanya seorang tukang bangunan.
Kebutuhan semakin hari yang semakin besar, tidak bisa tertutupi oleh penghasilan ayah. Ibu pernah bercerita kepadaku, pernah hampir putus asa karena sepi orderan. Hampir saja ibu menutup usahanya.
“Tapi kalau tutup, ibu mau cari uang dari mana? Jualan makanan? Ibu tidak pandai meracik bumbu, makanan ibu tidak seenak yang dijual orang-orang. Mau kembali jadi buruh di pabrik pakaian? Itu tidak mungkin, telinga ibu sudah rusak gara-gara suara mesin,” ucap ibu kala itu.