“Begini rencananya.” Somad mengatur strategi penuh teliti.
“Kios Sembako Haji Kodir.” Somad mengacungkan jari telunjuk pada selembar kertas itu, mungkin maksudnya menunjukkan target lokasi untuk rencana gelapnya.
Dipimpin oleh Somad, dengan sigap mereka beraksi. Somad sudah lihai untuk urusan gelap semacam ini. Ia cukup berpengalaman. Terakhir masuk lapas karena menggelapkan sepeda motor. Kini, ia bebas sebelum waktunya karena negara sedang bingung mengurusi makhluk kecil yang datang dari negeri jauh.
Para napi dibebaskan sebelum waktunya. Untuk menekan penularan makhluk kecil itu. Sekarang, jika aksi somad gagal dan tertangkap warga, apakah ia akan kembali dijebloskan ke penjara. Pak guru bingung, hanya melongo, gemetar, dan berkeringat dingin melihat Somad dengan mudah membobol kios sembako Haji Kodir.
“Hei, Pak guru, ayo!” Somad menahan suara agar tidak terdengar oleh warga.
Hitungan menit, mereka berhasil mengemasi beberapa bahan pokok, barang-barang yang laku dijual kembali juga mereka ringkus. Di laci meja kasir masih tersisa beberapa lembar uang dan recehan, mereka sikat! Mungkin Haji Kodir lupa memberesinya sebelum menutup kios. Setelah merasa cukup, mereka mengendap keluar. Somad memberi aba-aba.
“Tahan dulu!” Tangan Somad menahan badan pak guru, kepalanya melongok keluar, celinguk kanan-kiri.
“Aman,” Somad memberi aba-aba kembali.
Mereka keluar dari kios. Berjalan cepat, langkahnya lebar-lebar, bahkan sedikit berlari. Melintasi jalan kampung. Mereka tak menyadari ternyata ada sepasang mata yang mengintai dari balik jendela. Sepasang mata kecil yang penuh perhatian.
Sepasang mata itu mungkin terjaga karena mimpi buruk atau terbangun karena hendak buang air kecil ke toilet. Sepasang mata itu menajamkan pandangan. Merasa mengenali sepasang sepatu berwarna biru kombinasi putih yang melintasi jalan kampung.