Korban semakin banyak. Sampai ribuan. Pasien yang terpapar membludak. Penyebaran makhluk kecil itu sangat cepat. Rumah sakit-rumah sakit penuh. Para petugas medis kerepotan.
Bahkan sudah banyak yang tumbang. Negara membangun rumah sakit darurat. Rumah sakit khusus penyakit menular. Wisma atlet, asrama haji disulap jadi Rumah Sakit darurat dalam sekejap. Menampung pasien-pasien yang terlunta di rumah sakit induk.
Sejumlah bantuan mengalir datang. Tapi, masih saja belum cukup. Media-media cetak maupun elektronik menayangkan iklan layanan masyarakat, mengimbau. Negara membuat slogan: kami bekerja untuk kalian, kalian tetap di rumah untuk kami.
Pak guru ingin mentaati anjuran pemerintah, di rumah saja. Tapi, jika melihat anak dan istrinya ia seperti merasa miris. Keluarganya harus tetap makan. Selain itu, ada listrik yang harus dibayar, cicilan kontrakan yang juga harus tetap dilunasi.
Belum lagi, anaknya yang duduk di Sekolah Menengah Pertama butuh kuota lebih untuk menggarap tugas-tugas online dari gurunya dan biaya yang cukup banyak untuk melanjutkan SMA.
****
BERSAMA tetangga dekatnya, pak guru pergi memancing di rawa dekat rumahnya. Kegiatan itu ia lakukan hampir setiap pagi, sejak tiga pekan silam. Berangkat selepas Subuh, pulang saat matahari mulai tinggi.
Hasilnya tak tentu. Jika sedang beruntung bisa membawa sekeranjang ikan gabus. Tapi, tak jarang juga hanya berhasil membawa satu-dua ekor saja. Terkadang juga pulang dengan tangan kosong.
Sudah sebulan keluarganya makan lauk daun, ikan dan sambal seadanya. Di tengah lamunannya memancing, tetangga dekatnya itu membisikkan sebuah ide gelap.