“Kalau Pak Guru mau, nanti malam kita beraksi.”
Pak guru terdiam lama. Ia membatin. Ia malu nanti kalau tertangkap saat melakukan aksi gelapnya. Ia seorang guru. Apa kata orang-orang nanti.
“Tenang saja, tak akan ketahuan. Kita lakukan dengan rapi,” kawannya seperti tahu isi hati pak guru.
Tiba-tiba bayangan anak dan istrinya berkelebat. Pak guru ingin menolak rencana gelap itu. Tapi, bahasa tubuhnya malah seperti memberi jawaban “ok” pada orang itu. Pak guru berjanji pada dirinya sendiri, hanya sekali ini saja. Itu pun karena terpaksa. Ia tidak akan mengulanginya lagi.
Pak guru hanya memiliki sepasang sepatu pantofel yang lusuh. Warna hitamnya sudah agak pudar di bagian ujung jari-jari kakinya. Berkeriput. Bercak-bercak memutih. Tali sepatunya sudah rantas.
Sepasang sepatu itulah yang selalu ia kenakan untuk mengabdi, mengajar di Sekolah Dasar. Bahkan ketika harus merangkap mengajar mata pelajaran olah raga pak guru juga mengenakan sepatu yang sama. Pak guru sering merasa kerepotan saat harus memberi contoh cara berlari yang benar pada murid-muridnya.
Sepatu pantofelnya yang usang tentu terasa berat dipakai untuk berlari. Juga saat memberi contoh pada murid-muridnya lompat jauh. Kaki pak guru pasti terasa sakit dan lecet-lecet oleh sepatu bututnya itu.
Hingga pada suatu hari. Saat peringatan hari guru. Seorang murid yang perhatian memberikan sebuah kado kepada pak guru.
“Ini bisa Pak Guru pakai saat mengajar olah raga.” Bersama seorang kawannya, murid itu menyerahkan kado kepada pak guru di halaman sekolahan. Selepas upacara peringatan hari guru.
Sepasang sepatu kets berwarna biru kombinasi putih. Bermerek. Pak guru tersenyum haru saat membuka kado itu. Ia berucap terima kasih pada muridnya yang perhatian itu, juga kepada orang tuanya, pak guru nitip salam.